Episode 8 – Rumah yang Bernafas
Episode 8 – Rumah yang Bernafas
Kabut menipis perlahan, meninggalkan bayangan kota yang membeku dalam diam.
Ares, Lina, dan Sairen akhirnya kembali ke rumah tua di tepi hutan. Tapi rumah itu tak lagi seperti sebelumnya.
Dindingnya berdenyut lembut, seperti dada makhluk yang sedang bernapas. Dari celah-celah papan terdengar suara detak pelan — degup jantung yang bukan milik manusia.
“Rumah ini… hidup,” bisik Lina.
“Tidak hidup,” jawab Sairen lirih. “Ia dibangunkan.”
Ares melangkah masuk. Lantai bergetar pelan di bawah kakinya, seolah mengenali langkah itu. Foto ibunya di dinding kini tampak berbeda — matanya bukan lagi sekadar gambar. Mereka mengikuti setiap gerakan Ares.
“Dia menunggumu,” kata Sairen. “Ibumu terikat di antara dua dunia — karena darahnya digunakan untuk menutup pintu setengahnya. Tapi sisi lain tubuhnya… tetap di sini.”
Ares mendekati dinding di bawah tangga. Dulu, di sinilah ibunya ditemukan — duduk di kursi rotan, dengan mata terbuka tapi tak berjiwa.
Kini, dari celah papan, keluar suara lembut:
“Ares… kau pulang…”
Suaranya hangat, tapi anehnya bergema seperti datang dari dalam perut bumi.
Ares mendekat. Tangannya gemetar.
“Ibu?”
Dinding di depannya mulai merekah perlahan. Dari sela kayu, muncul tangan pucat yang masih basah oleh sesuatu yang menyerupai embun. Lalu wajahnya — sama seperti ibunya, tapi kulitnya transparan, menampakkan urat bercahaya biru di dalam.
“Aku menunggumu, Nak…”
“Apa yang terjadi padamu?”
“Aku tak pergi sepenuhnya. Rumah ini adalah tubuhku… pintu yang belum selesai kututup.”
Sairen menatap dengan wajah tegang.
“Dia bukan ibumu sepenuhnya lagi, Ares. Dia adalah penjaga yang gagal — bagian dari dunia lain yang mencoba bertahan.”
“Aku harus bicara dengannya.”
“Kalau kau terlalu lama di dekatnya, rumah ini akan menelanmu juga.”
Tapi Ares sudah melangkah maju.
Tangan ibunya menyentuh pipinya — dingin, tapi terasa seperti pelukan yang lama dirindukan.
“Dhirga akan datang untuk membuka pintu terakhir,” bisiknya. “Dia akan memanfaatkan darahmu untuk menyelesaikan apa yang dulu aku hentikan. Tapi ada sesuatu yang bisa kau gunakan melawannya.”
“Apa itu?”
“Namaku.”
Sebelum Ares sempat bertanya lebih lanjut, dinding di sekeliling mereka mulai bergetar hebat. Foto, kursi, meja — semuanya melayang ke udara. Rumah bergetar keras, seolah mencoba mengusir sesuatu dari dalam dirinya.
Tiba-tiba, lantai retak dan dari bawah muncul semburan kabut hitam — di dalamnya tampak sosok tinggi berkerudung, dengan mata seperti bara yang padam.
“Kita terlambat,” desis Sairen.
“Dhirga sudah menemukan rumah penjaga.”
Makhluk itu menatap Ares, dan semua cahaya di ruangan padam seketika.
Suara dalam kepalanya berbisik:
“Darahmu adalah kunci. Mari kita selesaikan apa yang tertunda, anak dari kabut.”
Ares menggenggam tangan ibunya — tapi kini tangan itu mengeras, menjadi batu.
Lalu, dengan suara seperti napas terakhir bumi, rumah itu menarik napas dalam-dalam.
Udara lenyap. Cahaya padam. Dunia menahan degupnya.
“Sairen…” Ares berbisik.
“Pegang tanganku. Kita harus keluar sebelum rumah ini… bernapas untuk terakhir kali.”
Dan ketika mereka melompat menembus pintu depan, rumah itu menghembuskan napas raksasa — mengeluarkan kabut putih dari setiap celahnya, membentuk wajah perempuan yang menangis di langit malam.
Posting Komentar untuk "Episode 8 – Rumah yang Bernafas"
Posting Komentar