Episode 6 – Sairen
Episode 6 – Sairen
Malam turun tanpa suara.
Hutan masih hidup — akar bergetar, daun bergoyang tanpa angin, dan dari kejauhan terdengar lolongan panjang yang tak seperti binatang mana pun.
Ares terjaga di rumah, duduk di depan perapian yang padam. Di luar, kabut mengetuk jendela seperti tangan yang sabar.
Lina tertidur di kursi, sementara Bu Marni duduk diam di pojok ruangan, membaca doa dalam bisikan lirih.
Ares membuka buku hitamnya lagi, berharap menemukan jawaban. Tapi di antara halaman itu, terselip foto tua — ibunya bersama seorang pria yang belum pernah ia lihat.
Pria itu berwajah tenang… dan memiliki bayangan sayap di belakang tubuhnya.
“Sairen…” Ares berbisik.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah terdengar di luar rumah. Langkah berat, berderak, disusul dengan bau tanah basah dan asap.
Pintu depan terbuka sendiri, dan di ambang pintu berdiri Sairen — sayapnya terlipat, wajahnya penuh luka dan darah hitam menetes dari matanya.
“Mereka sudah bangun,” katanya dengan suara serak. “Pintu mulai berdenyut.”
Ares membantu Sairen masuk. Tubuh makhluk itu dingin, tapi terasa seperti bernafas dua kali — satu napas manusia, satu napas dari sesuatu yang lebih tua.
Saat ia membersihkan luka di dada Sairen, kulit di sana tampak retak, memperlihatkan urat bercahaya biru di bawahnya.
“Kau… bukan sepenuhnya makhluk dari dunia lain, ya?” tanya Ares pelan.
“Dulu, aku manusia,” jawab Sairen tanpa menatapnya. “Aku penjaga pertama.”
Ares terdiam.
Sairen menatap api perapian yang perlahan menyala.
“Kami dulu bertiga — aku, ibumu, dan satu manusia lagi bernama Dhirga. Kami menjaga gerbang antara dunia sejak seratus tahun lalu. Tapi Dhirga menginginkan kekuatan yang ada di balik kabut. Ia membunuh semua penjaga dan membuka pintu itu untuk dirinya sendiri. Sejak saat itu, dunia ini retak.”
“Dan ibuku?”
“Ibumu mengorbankan dirinya untuk menutup separuh pintu itu. Tapi dia tahu suatu hari, darahnya… akan memanggilku kembali.”
Ares menunduk, menatap tangannya yang gemetar.
“Jadi aku… adalah warisan dari penjaga yang gagal?”
“Kau adalah kesempatan terakhir,” kata Sairen lirih.
Tiba-tiba, lantai rumah bergetar.
Buku hitam yang tergeletak di meja terbuka sendiri. Halamannya terbakar perlahan tanpa api, menyisakan satu kalimat di tengah abu:
“Dhirga telah kembali.”
Sairen berdiri dengan susah payah.
“Kau harus menemuinya, Ares. Sebelum dia menemukanmu duluan.”
Ares menatap keluar jendela.
Kabut di luar bergerak membentuk jalur ke hutan, berkelok seperti ular yang memanggil mangsa.
“Kalau itu jalan menuju Dhirga…” katanya pelan, “…maka aku akan mengikutinya.”
Sairen menatapnya tajam.
“Kau akan melihat dunia yang bahkan ibumu tak sempat ceritakan.”
Dan ketika pintu rumah tertutup di belakang mereka, kabut berubah menjadi hitam pekat.
Di langit, bulan terbelah dua.
Posting Komentar untuk "Episode 6 – Sairen"
Posting Komentar