Episode 2 – Cahaya di Loteng



Episode 2 – Cahaya di Loteng

Pagi itu, kabut belum sepenuhnya pergi.
Sinar matahari hanya menembus sebagian tirai, menciptakan garis-garis cahaya pucat di dinding rumah tua itu. Ares duduk di meja dapur, secangkir kopi hitam mengepul di tangannya, matanya masih terpaku pada pintu belakang yang semalam menelan kabut — tempat ia melihat makhluk bersayap hitam itu berdiri.

Ia hampir meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi. Tapi ada hal yang tak bisa ia abaikan: di teras belakang, ada bekas jejak yang tak manusiawi — tiga jari panjang, menekan tanah dengan berat, seolah makhluk itu tak berjalan, tapi menapak dengan sayapnya.

Ketika Ares naik ke loteng untuk mencari foto lama ibunya, udara di sana terasa berbeda. Lebih dingin. Lebih sunyi. Debu menempel tebal di kayu, dan aroma kapur barus bercampur lembap seperti tanah basah.
Di pojok ruangan, sebuah peti kayu tua menarik perhatiannya. Di atasnya ada tanda aneh — lingkaran dengan tiga sayap yang dilipat ke bawah.

Ia membuka peti itu dengan hati-hati. Di dalamnya, tersimpan buku catatan kulit berwarna hitam, seolah baru ditulis kemarin. Halaman pertama hanya berisi tulisan tangan ibunya:

“Jika kau membaca ini, berarti pintu itu mulai bergerak lagi.”

Ares terpaku.
Tangan ibunya, tulisan ibunya — tapi bagaimana bisa tinta di kertas itu masih basah?

Saat ia membalik halaman berikutnya, cahaya biru samar mulai keluar dari sela-sela kertas. Udara di sekeliling berubah dingin. Angin dari jendela yang tertutup tiba-tiba berhembus kencang, membuat lampu bohlam tua berayun-ayun.

Lalu, dari bawah rumah, terdengar suara “ketukan tiga kali” — pelan, tapi teratur.
Tok. Tok. Tok.
Seolah seseorang — atau sesuatu — membalas panggilan dari buku itu.

Ares menutup buku itu cepat-cepat, tapi cahaya biru masih menembus sela jarinya, seperti api dingin yang hidup. Saat ia meletakkannya, cahaya itu mengalir membentuk sebuah simbol di lantai loteng — lingkaran dengan tiga sayap yang terbuka.

Dan dari tengah simbol itu, terdengar napas pelan… bukan napas manusia.

“Kau tak seharusnya membangunkanku lagi, Ares…”

Suara itu dalam, seperti gema yang datang dari balik kabut, dan menyebut namanya dengan sempurna — padahal ia belum pernah mengatakan namanya pada siapa pun di rumah itu.

Lampu padam.
Buku terbuka sendiri.
Dan cahaya biru menelan seluruh ruangan.

Posting Komentar untuk "Episode 2 – Cahaya di Loteng"