Episode 9 – Nama yang Hilang



Episode 9 – Nama yang Hilang

Kabut mulai reda, menyisakan langit kelabu pucat.
Rumah Ares telah runtuh, tinggal puing-puing yang masih mengepulkan embun dingin.
Ares, Lina, dan Sairen duduk di tanah basah di bawah pohon pinus, diam. Tak ada yang bicara selama beberapa menit — hanya suara detak jam tua di tangan Lina yang entah kenapa masih berdetak di tengah keheningan dunia yang membeku.

“Kau dengar yang ibumu katakan,” ujar Sairen akhirnya. “Namanya… bisa menjadi senjata.”

Ares menatap abu di tangannya — sisa dari buku hitam yang ikut terbakar di rumah itu.

“Tapi dia tak sempat menyebutnya. Aku bahkan tak tahu nama lengkapnya.”

“Nama sejati bukanlah nama yang diberikan di dunia ini,” kata Sairen lirih. “Setiap penjaga punya nama lain, yang hanya diucapkan oleh dunia di sisi lain. Nama itu bisa memerintah kabut… atau mematikannya.”

Ares terdiam lama.

“Kalau begitu… aku harus menemukan nama itu. Tapi di mana?”

Sairen memejamkan mata, dan bulu-bulu sayapnya bergetar.

“Dulu, ada tempat di mana para penjaga menulis nama sejati mereka — tempat yang disebut Ruang Di Antara Napas. Tapi tempat itu hanya bisa diakses lewat ingatan.”

“Maksudmu…?”
“Kau harus masuk ke dalam mimpimu sendiri, Ares. Ke memori terakhir ibumu.”

Lina menatap mereka berdua, cemas.

“Itu berbahaya. Dunia mimpi dan dunia roh sudah nyaris menyatu sekarang.”

“Kalau aku tak melakukannya,” kata Ares pelan, “Dhirga akan menutup semua jalan keluar. Dunia manusia akan jadi cangkang kosong.”

Sairen mengangguk.

“Kalau begitu, kita harus mulai sebelum matahari mati.”


Malam tiba cepat.
Ares berbaring di atas tanah, di bawah pohon yang sama tempat ibunya dimakamkan.
Sairen meletakkan tangan dinginnya di dada Ares, dan berbisik mantra dalam bahasa yang terdengar seperti napas panjang.
Udara di sekitar mereka bergetar — dan dunia perlahan larut.

Ares terbangun di tempat lain.
Langit hitam tanpa bintang. Tanah dari kabut.
Di kejauhan berdiri rumah ibunya, tapi kali ini sempurna — baru, hangat, bercahaya dari dalam.

Ia melangkah masuk.
Di dalam, ibunya sedang duduk di meja makan, tersenyum seperti dulu.

“Kau datang juga, Nak…”

Ares menahan napas.

“Ibu… aku butuh namamu. Nama sejati.”

Wajah ibunya berubah sedikit — senyum itu memudar.

“Kau tak seharusnya mengingatnya. Nama itu membawa kutukan.”

“Tapi tanpa itu, dunia ini akan hilang.”

Hening.
Lalu ibunya berdiri, perlahan. Cahaya di ruangan mulai memudar.

“Kalau begitu, dengarkan baik-baik, Ares. Namaku bukan untuk diucapkan oleh manusia… tapi oleh darahku sendiri.”

Ia mendekat, menyentuh dada Ares — tepat di atas jantung.

“Ketika waktunya tiba, sebutlah aku dengan nama yang kau dengar di antara dua detak napasmu. Itu akan membuka jalan.”

Ares ingin bertanya, tapi sebelum sempat, suara keras menggema dari luar rumah.
Pintu depan terbuka, dan sosok tinggi berselubung hitam berdiri di ambang pintu — Dhirga.

“Akhirnya, anak dari penjaga. Dunia ini milik mereka yang berani mengingat.”

Ibu Ares menatapnya dengan sedih.

“Pergilah, Nak. Aku sudah mati dua kali. Jangan biarkan aku mati untuk ketiga kalinya.”

Ares berlari, tapi ketika ia menoleh ke belakang, rumah itu runtuh dalam cahaya putih — dan wajah ibunya memudar bersama kabut.


Ares terbangun di dunia nyata, terengah-engah.
Sairen menatapnya dengan tajam.

“Kau mendapatkannya?”
Ares menatap langit yang kini mulai memerah.
“Belum sepenuhnya… tapi aku mendengar sesuatu.”

“Apa?”
“Sebuah nama… di antara dua napas. Tapi aku belum tahu artinya.”

Sairen menghela napas panjang.

“Kalau begitu, kita harus menemuinya lagi — kali ini di tempat asal Dhirga. Dunia yang bahkan kabut takut memasukinya.”

Posting Komentar untuk "Episode 9 – Nama yang Hilang"