Episode 10 – Dunia di Balik Langit
Episode 10 – Dunia di Balik Langit
Langit malam telah berubah warna — bukan hitam, bukan biru, melainkan abu-abu yang bergerak, seperti air mendidih yang menutup dunia.
Kota dan hutan di bawahnya tampak beku, tapi udara terasa berat… seperti bumi sedang menahan napas terlalu lama.
Sairen berdiri di tepi jurang, sayapnya terbuka lebar.
“Itu dia,” katanya pelan. “Retakan di langit — pintu menuju dunia Dhirga.”
Ares menatap ke atas. Di antara awan yang berputar, terlihat celah raksasa yang berkilau dengan cahaya putih keunguan, berdenyut seperti pupil mata raksasa yang mencoba terbuka. Dari celah itu turun hujan kabut yang jatuh ke tanah dan membentuk bentuk-bentuk samar: manusia tanpa wajah, berjalan tanpa arah.
Lina memegangi lengan Ares.
“Kita benar-benar akan masuk ke sana?”
“Tidak ada jalan lain,” jawabnya. “Dunia di atas sedang memakan dunia di bawah.”
Sairen menatap Ares tajam.
“Begitu kau melewati celah itu, kau tak akan lagi manusia. Tapi hanya darahmu yang bisa menutup pintu ini dari dalam.”
“Kalau aku tak kembali?”
“Maka dunia ini akan hidup tanpa waktu. Semua akan berhenti — tapi tak pernah mati.”
Ares menarik napas dalam-dalam.
Ia menatap Sairen dan Lina, lalu berkata dengan suara tenang,
“Kalau aku tak kembali… tutuplah langit itu dengan nama ibuku.”
Sairen mengangguk, lalu mengulurkan tangannya.
“Kau sudah siap?”
Ares menggenggam tangan itu. Seketika, dunia di sekeliling mereka berubah menjadi arus cahaya.
Udara terbelah. Langit terbuka seperti lembaran kaca yang retak.
Mereka terlempar ke dalam kegelapan.
Ketika Ares sadar, ia berdiri di tempat yang tak mengenal arah.
Langit berada di bawah, tanah di atas. Sungai mengalir menembus udara, dan di dalam air itu ia bisa melihat bayangan dunia manusia — dirinya sendiri, Lina, dan Sairen, semua terpantul tapi terbalik.
Suara berat menggema dari segala arah.
“Selamat datang di dunia yang lupa cara tidur.”
Ares menoleh.
Dhirga berdiri di sana, tubuhnya terbuat dari kabut padat, wajahnya hanya guratan cahaya. Tapi di dadanya, sesuatu berdenyut — jantung yang sama seperti milik manusia.
“Kau tak berubah, Ares,” katanya. “Masih membawa darah yang salah.”
“Kau pembunuh ibuku,” balas Ares.
“Ibuku? Tidak. Aku yang memberinya kekuatan. Aku yang menawarinya tempat di antara dunia — tapi dia memilih manusia. Sekarang, aku hanya menagih janji yang dulu dia tolak.”
Dhirga melangkah mendekat. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar, udara retak seperti kaca.
“Kau tahu, darahmu punya dua suara. Satu manusia, satu penjaga. Tapi hanya satu yang bisa bertahan.”
Ares menatapnya tajam.
“Aku tak akan biarkan kau buka pintunya.”
Dhirga tersenyum — senyum tanpa wajah.
“Pintu itu sudah terbuka, Ares. Kau berdiri di dalamnya sekarang.”
Langit di atas mereka bergetar keras, terbuka lebih lebar. Dari celahnya turun sosok-sosok berjubah, tanpa wajah, membawa rantai cahaya. Mereka berputar mengelilingi Dhirga, bernyanyi dalam bahasa yang hanya bisa didengar oleh tulang, bukan telinga.
Sairen muncul di belakang Ares, sayapnya menyala biru terang.
“Kita tak bisa melawan semua ini dengan kekuatan, Ares. Gunakan apa yang ibumu berikan.”
Ares memejamkan mata. Di dalam kepalanya, ia mendengar dua napas — satu miliknya, satu milik ibunya. Di antara dua napas itu, terdengar satu kata samar, berbisik lembut namun mengguncang seluruh pikirannya.
“Elratha.”
Ares membuka matanya.
“Itu… nama sejatinya.”
Ketika ia mengucapkan kata itu, seluruh dunia berhenti bergetar.
Langit membeku. Dhirga berhenti bergerak.
Cahaya putih muncul dari dada Ares dan mengalir ke langit, menutup retakan perlahan.
“Kau tidak mengerti apa yang kau lakukan!” raung Dhirga.
“Aku memanggil ibuku.”
Suara lembut bergema dari balik cahaya.
“Ares… kau akhirnya mengingatku.”
Dari cahaya itu muncul sosok ibunya — bukan roh, bukan manusia, tapi sesuatu yang lebih tinggi. Ia menatap Dhirga, lalu berkata:
“Dunia ini bukan untukmu, Dhirga. Pulanglah ke napas pertama.”
Dhirga menjerit, tubuhnya hancur menjadi kabut dan lenyap ke dalam langit yang kini menutup perlahan.
Ares berlutut, terengah.
“Ibu… apakah ini akhirnya?”
“Belum, Nak,” jawabnya lembut. “Masih ada harga yang harus dibayar untuk menutup dunia.”
Sebelum Ares sempat bertanya, cahaya mulai menelan segalanya.
Dunia di balik langit runtuh, dan hanya ada satu suara tersisa:
“Satu napas lagi, Ares… dan semua akan selesai.”.
Posting Komentar untuk "Episode 10 – Dunia di Balik Langit"
Posting Komentar