PIKSEL DAN KOPI: Bab 2 Rasa yang Tidak Terprogram

 PIKSEL DAN KOPI

Bab 2: Rasa yang Tidak Terprogram

Keesokan harinya, alarm Pixel berbunyi seperti biasa, tapi Arka tidak mendengarnya. Pikirannya melayang ke aroma kopi dan senyum Laras. Ia melewatkan rekomendasi sarapan optimal dari Pixel, mengambil sepotong roti, dan langsung menuju sekolah. Di kelas, ia tidak fokus pada notifikasi "interaksi direkomendasikan" yang muncul di jam tangannya. Ia malah mencoret-coret bukunya, menggambar cangkir kopi dengan uap yang mengepul.

Saat istirahat, Bima menghampirinya. "Kamu kenapa? 'Friendship Score' kita turun 2%." Bima terdengar cemas. "Pixel bilang hari ini kita harus membahas proyek robotik, tapi kamu kelihatan aneh."

Arka hanya tersenyum tipis. "Enggak, enggak apa-apa," jawabnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa perlu menjelaskan dirinya. Ia membiarkan data itu turun, membiarkan ketidaksempurnaan itu terjadi.

Sore harinya, Arka kembali ke gang kecil itu. Kali ini, ia tidak mencari paket, tapi mencari aroma kopi. Begitu masuk, Laras tersenyum. "Datang lagi?" tanyanya.

"Aku... penasaran," jawab Arka canggung. "Kopi apa yang paling enak?"

Laras tertawa. "Pixel tidak merekomendasikan? Kopi itu bukan tentang 'enak' atau 'tidak enak'. Itu tentang rasa. Rasa pahit yang bikin manisnya terasa lebih berharga. Rasa hangat yang menenangkan di saat dingin. Setiap cangkir itu punya cerita."

Laras mengambil dua cangkir, menuangkan kopi, dan memberikannya pada Arka. "Ini yang paling jujur," katanya. Arka menyesapnya. Rasa pahit yang pekat menyerbu lidahnya, disusul rasa manis yang lembut. Ia merasakan sensasi yang tidak pernah ada dalam data. Rasa itu tidak terprogram, tidak terukur, dan tidak bisa diprediksi.

Selama beberapa minggu berikutnya, rutinitas Arka berubah. Ia tidak lagi pulang tepat waktu. Ia menyelinap ke kedai kopi Laras, belajar tentang biji kopi, tentang latte art, dan tentang percakapan yang tidak diatur oleh algoritma. Di sana, ia bertemu orang-orang yang juga tidak terprogram: seorang penyair tua yang menulis puisi di atas serbet, seorang pemusik jalanan yang bermain gitar tua. Dunia mereka berantakan dan tidak efisien, tapi penuh dengan tawa dan kehangatan.

Namun, penyimpangan Arka tidak luput dari perhatian. Ponselnya terus bergetar dengan notifikasi Pixel yang semakin cemas. "Pola interaksi tidak stabil. Mencari solusi untuk ketidakpastian ini."

Suatu malam, ayahnya menunggu di depan pintu. Tatapannya tajam. "Arka," katanya, suaranya tenang tapi dingin. "Pixel melaporkan penyimpangan yang signifikan. Kamu menghabiskan waktu di area tidak terprogram. Kamu bertemu orang-orang yang tidak ada dalam data. Siapa dia?"

Arka menunduk. Ia tahu ini akan terjadi. Ia harus memilih: kembali ke dunia yang aman dan terprogram, atau mempertahankan rasa baru yang ia temukan.


Posting Komentar untuk "PIKSEL DAN KOPI: Bab 2 Rasa yang Tidak Terprogram"