Episode 11 – Napas Terakhir
Episode 11 – Napas Terakhir
Cahaya lenyap perlahan, meninggalkan dunia yang nyaris tak berbentuk.
Ares berdiri sendirian di antara langit yang hancur dan tanah yang belum sepenuhnya kembali.
Semua terasa tenang — terlalu tenang. Tak ada kabut, tak ada suara. Hanya dirinya, napasnya, dan detak jantung yang perlahan memudar.
“Ibu?” panggilnya pelan.
Suara lembut menjawab, bukan dari luar, tapi dari dalam dadanya.
“Aku di sini, Nak. Tapi waktuku habis… dan waktumu hampir jadi milikku.”
Ares memejamkan mata. Ia tahu apa artinya.
Untuk menutup pintu antara dunia manusia dan dunia kabut, satu penjaga harus menjadi segel — menjadi napas terakhir dunia itu sendiri.
“Jadi aku harus mati?”
“Tidak, Ares. Kau tak akan mati… kau hanya akan berhenti berada di satu sisi saja.”
Angin lembut berhembus, membawa serpihan suara Sairen dan Lina dari jauh. Mereka memanggil namanya, tapi suaranya teredam seperti dari balik air.
Sairen berteriak, sayapnya terbakar cahaya biru, mencoba menerobos batas antara dua dunia.
“Ares! Jangan lakukan ini! Dunia ini butuhmu sebagai manusia!”
“Kalau aku tetap di sini,” jawab Ares pelan, “kabut akan kembali. Dunia butuh penjaga baru… bukan manusia biasa.”
Ia menatap langit yang mulai pecah lagi, cahaya ungu menyelinap dari celah.
Dhirga mungkin sudah hilang, tapi bekas keinginannya masih tertinggal — kekosongan yang ingin diisi.
Ares menatap telapak tangannya, lalu menatap ke arah kabut yang menggantung di ujung dunia.
“Aku lahir dari dua napas,” katanya. “Satu manusia, satu penjaga. Sekarang… aku akan menghembuskan napas terakhir untuk mereka berdua.”
Cahaya mulai keluar dari tubuhnya, mengalir ke udara seperti air yang terangkat.
Suara ibunya terdengar untuk terakhir kali, lembut dan penuh damai.
“Aku bangga padamu, Nak. Kini dunia akan bernapas dalam satu irama lagi.”
Langit meledak dalam cahaya putih.
Kabut yang tersisa mulai menghilang, satu per satu, hingga udara kembali jernih untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.
Sungai kembali mengalir. Burung-burung bernyanyi. Waktu berjalan lagi.
Beberapa hari kemudian.
Lina berdiri di depan makam kosong — makam ibu Ares.
Sairen duduk di batu di sampingnya, sayapnya kini hitam kelam.
“Kau yakin dia tak akan kembali?” tanya Lina.
“Dia tak pergi,” jawab Sairen pelan. “Dia hanya berubah bentuk.”
Angin berembus melewati hutan, membawa aroma lembap yang menenangkan.
Dan di antara desir dedaunan, terdengar bisikan halus…
“Jaga dunia ini baik-baik, Lina… aku masih bernapas di antara kalian.”
Sairen menatap langit, senyum samar muncul di wajahnya.
“Dia berhasil. Pintu sudah tertutup.”
Lina menatap matahari yang baru terbit.
“Tapi kenapa masih ada kabut di tepi hutan itu?”
Sairen berdiri.
“Karena setiap dunia… butuh sedikit rahasia.”
Mereka berjalan pergi, meninggalkan makam itu.
Kabut tipis menyelimuti tanah sebentar, membentuk siluet Ares yang tersenyum — lalu lenyap bersama cahaya pagi.
🕯️ Tamat — “Nafas di Balik Kabut”
Setiap dunia bernafas. Tapi hanya mereka yang berani kehilangan napasnya, yang benar-benar hidup.
Posting Komentar untuk "Episode 11 – Napas Terakhir"
Posting Komentar